---

meliana

Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

31 Agustus 2008

Idul Fitri, Memetik “Buah” kejujuran dan Kesabaran

Buletin No. 151
Oleh: Syaif el-Rachman

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,”(QS al-Baqarah [2]: 155)

Tak terasa sebulan lamanya kita telah menunaikan ibadah puasa, dan kita telah merayakan Idul Fithri atau “Hari Kemenangan”. Dalam kamus “Lisânul ‘Arab” dikatakan bahwa îd secara bahasa artinya “setiap hari yang di dalamnya ada perkumpulan.” Îd terambil dari kata “‘âda–ya’ûdu” artinya “kembali; karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya.” Tapi ada sebagian orang yang berpendapat bahwa îd diambil dari kata: “Adat atau kebiasaan, karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah “‘ayâda”. Bila dakatakan “Îd Muslimun”, maknanya: mereka menyaksikan hari raya (îd) mereka. Ibnul A’rabi mengatakan: “îd dinamakan dengan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru.”

Sedangkan lafadz “fithru” (îd al-fithri atau îdul fithri) menurut bahasa: “berbuka” atau “ifthâr”. Jadi, secara bahasa makna dari hari raya “idul fitri” adalah “hari berbuka puasa”. Yakni umat Islam diperbolehkan makan dan minum setelah satu bulan lamanya mereka berpuasa. Selain itu, di akhir bulan puasa umat Islam memakai pakian yang bagus guna merayakan keberhasilan mereka menunaikan ibahah puasa sebulan penuh. Meskipun demikian, memakai pakaian yang serba baru bukanlah kewajiban, tapi merupakan “kebiasaan masyhur” dan tidak ditentang oleh Rasulullah Saw.

Definisi idul fitri sebagai hari berbuka puasa sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa nabi Muhammad Saw. bersabda, “puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan,” (HR Tirmidzi). (lihat, almanhaj.or.id-Berjalan di atas Manhaj As-Salafush Shalih) Hadits di atas menunjukkan bahwa definisi idul fitri adalah hari berbukanya kaum muslimin atau diperbolehkannya umat Islam makan dan minum disiang hari.

Meskipun demikian, memahami Idul Fitri hanya sebagai “hari berbukanya umat Islam” terlalu memahami puasa hanya sebatas menahan lapar dan dahaga saja. bagi mayoritas umat Islam Indonesia, Idul Fitri tidak hanya dipahami sebagai hari dibolehkannya umat Islam berbuka, tapi juga dipahami dengan kembalinya umat Islam ke fitrah awal mereka, yaitu kesucian atau terbebasnya umat Islam dari segala dosa. setelah melalui Ramadhan, umat Islam—yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa atau mereka yang tidak hanya memuasakan mulutnya dari makanan dan minuman, tapi juga hawa nafsunya—layaknya bayi yang baru dilahirkan; suci tanpa dosa secuilpun.

Jadi, Idul Fitri jangan hanya dipahami sebagai “hari berbukanya umat Islam”, karena pemahaman ini terlalu melihat Islam dalam paradigma materialistik dan Islam tidak lahir hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut. Puasa adalah menahan diri dari melakukan perbuatan yang dilarang (haram) dan dibenci (makruh) Allah serta melakukan ibadah dan perbuatan baik yang diperintahkan (wajib) ataupun dianjurkan (sunnah) Allah dan rasul-Nya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridha Allah semata, maka dosa-dosanya yang lampau telah diampuni.”

Kata “fithrah” dalam kamus “al-Munjid Fi al-Lughat Wa al-A’lam” didefinisikan sebagai “sifat yang dimiliki yang setiap makhluk diawal penciptaannya” (Lihat, Louis Ma’luf, [Beirut: Dar Al-Masriq, 1996], cet. 36, h. 588). Pemahaman fithrah sebagai kesucian mendapatkan landasan kuat dalam ajaran Islam. Menurut ajaran Islam, bayi yang lahir adalah suci (hal ini bertentangan dengan paham kaum Kristiani yang menganggap bayi yang baru lahir membawa dosa turunan atau dosa asal, karena itu harus disucikan). Sebuah hadits mengatakan bahwa “setiap bayi yang dilahirkan adalah suci (fithrah), orang tua-lah (bapak) yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nashrani, dan Majus,” (HR Muslim). Makna hadits ini sama persis dengan teori “Tabularasa” yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704).

Banyak hadits dan pendapat ulama yang mengatakan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tapi juga bagaimana mengekang hawa nafsu untuk kemudian mengendalikannya sesuai dengan keinginan dan kehendak Sang Pencipta Alam. Seperti larangan untuk berdusta, marah, menggunjing, dll. Melakukan perbuatan tercela ini tidak membatalkan puasa, hanya saja membuat orang yang berpuasa kehilangan pahala dari puasanya. Nabi bersabda, “Banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari pahala puasanya kecuali lapar dan dahaga.”

Di bulan Ramadhan, kaum beriman (mukmin) harus mengekang dan mengendalikan hawa nafsunya agar puasa yang mereka jalankan tidak hanya menghasilkan rasa lapar dan haus belaka, tapi juga pahala berlimpah di sisi Allah. Karena itu, hari raya Idul fitri juga disebut sebagai “Hari Kemenangan”, yaitu kemenangan karena telah berhasil menundukkan hawa nafsu di bawah pancaran ajaran Ilahi. Seperti kita ketahui, bahwa perang terbesar menurut Rasulullah Saw. adalah perang melawan hawa nafsu.

Kini Ramadhan telah beringsut menjauhi kita. Dikabarkan dalam sebuah hadits bahwa seisi alam menangisi kepergian Ramadhan. Rasulullah pun bersabda, “Jika manusia tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, maka manusia akan mengharap setiap tahun adalah Ramadhan.” Kepergian “Sayyidus Syuhûr” ini tidak dapat kita tunda sedetik pun, ia berjalan mengikuti irama waktu yang dimainkan oleh Sang Pencipta. Kita hanya bisa berharap dengan sangat, mudah-mudahan di tahun depan kita bisa bersua kembali dengan bulan yang penuh barokah, rahmah, dan mahgfirah ini.

Kepergian bulan Ramadhan nan suci ini janganlah diikuti dengan menghilangkan nilai-nilai kebaikan yang telah kita tanam selama bulan Ramadhan. Ramadhan mengajarkan indahnya berbuat baik dan berkata jujur, menghilangkan amarah dan menghiasai jiwa dengan kesabaran, memperbanyak amal kebaikan dan menghilangkan keburukan, dan masih banyak lagi hal positif lainnya.

Hemat penulis, solidaritas sosial, kesabaran dan kejujuran adalah tiga hal terpenting yang “diajarkan” Ramadhan kepada umat Islam. Khususnya kepada umat Islam Indonesia, pengaplikasian tiga nilai ini akan mampu menangkis negeri ini dari kesedihan berkepanjangan dan membebaskan negeri ini dari keterpurukan. Puasa mendidik kita merasakan penderitaan yang dirasakan kaum miskin, dengan harapan hati kita terenyuh dan sudi membantu mereka. Kesabaran dibutuhkan oleh bangsa ini menghadapi berbagai musibah yang sepertinya tiada bosan mengunjungi negeri ini. Bisa kita sebut tsunami Aceh dan Pangandaran, gempa Yogyakarta, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan yang menimpa sebagian daerah dan lain sebagainya.

Sikap sabar adalah jawaban yang paling tepat menghadapi semua musibah yang datang melanda sambil melakukan introspeksi diri. Allah menyatakan dalam sebuah firman-nya bahwa Dia akan mendatangkan cobaan berupa rasa takut, lapar, cemas dan lain sebagainya. Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” (QS al-Baqarah [2]: 155)

Kejujuran mungkin bisa dikatakan adalah barang yang paling langka di negeri ini. Akibat tiadanya kejujuran dalam mengelola negeri yang “gemah ripah loh jinawi” ini, mayoritas penduduk bangsa ini berada dalam garis kemiskinan. Jika saja kejujuran yang selalu diperjuangkan saat menjalani ibadah puasa juga diperjuangkan oleh seluruh kompenen bangsa dalam mengelola negara, insya Allah dalam waktu yang relatif singkat, bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat dan rakyatnya makmur.

Ramadhan memang telah berlalu, namun kita usahakan agar nilai-nilai, sikap, dan perbuatan baik yang kita lakukan selama bulan Ramadhan tidak sirna bersamaan dengan kepergian Ramadhan, terutama mengenai kesabaran dan kejujuran. Dengan kesabaran, kita akan terselamatkan dari tindakan emosial yang akan berujung pada anarkisme, bahkan terorisme. Kesabaran juga kita butuhkan dalam berdakwah. Dakwah dan sabar adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kesabaran merupakan kunci sukses dakwah para nabi. Kemudian, kejujuran sangat dibutuhkan negara ini guna membenahinya dari keterpurukan.

Semoga kita termasuk orang yang memenangkan pertempuran melawan hawa nafsu dan menundukkannya di bawah nilai-nilai Ilahi. Semoga sikap dan perbuatan baik yang menghiasi diri kita selama bulan Ramadhan terus menghiasi diri kita meskipun Ramadhan telah pergi. Amien.

Wallahu a’lamu bis shawab.

Tidak ada komentar: